Madu & Antibakteri (1)

Adji Suranto (2007) menjelaskan bahwa efek antibakteri madu dikenal pertama kali pada tahun 1892 oleh Van Ketel. Awalnya, efek antibakteri ini diduga karena kandungan gula (alami) madu yang tinggi yang disebut efek osmotik. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya zat inhibine yang pada akhirnya diidentifikasi sebagai hidrogen peroksida yang berfungsi sebagai antibakteri.

Dr. WG Sackett, ahli bakteriologi dari Colorado Agricultural Academy menemukan secara in vitro bahwa madu dapat mematikan kuman tifus dalam 48 jam. Kuman penyebab penyakit radang paru-paru mati pada hari ke-4 bersamaan dengan kuman penyebab peritonitis, radang selaput paru dan kuman penghasil nanah. Adapun bakteri penyebab diare disentri mati hanya dalam waktu 10 jam.

 

Efek Osmotik

Madu terdiri dari kombinasi alami antara 84% gula dengan kadar air sekitar 15 sampai 20% sehingga sangat tinggi kadar gulanya. Sedikitnya kandungan air dan interaksi air dengan gula tersebut akan membuat bakteri tidak dapat hidup. Tidak ada bakteri yang sanggup bertahan hidup pada kadar air kurang dari 17%.

 

Berdasarkan efek osmotik ini, seharusnya madu yang diencerkan hingga kadar gulanya menurun akan mengurangi efek antibakteri. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Ketika madu dioleskan pada permukaan luka yang basah dan tercampur dengan cairan luka, efek antibakteri madu tidak hilang. Beberapa jenis madu tetap dapat mematikan bakteri meskipun diencerkan tujuh hingga empat belas kali. Dengan demikian dapat disimpulkan ada faktor lain yang menunjang efek antibiotika madu.

Dikutip dari Adji Suranto. 2007. Terapi Madu. Jakarta: Penebar Plus +

Leave a Reply